Babad Usana Bali Pulina

Babad Usana Bali Pulina ini menceritakan tentang keadaan Pulau Bali di masa lampau sampai datangnya para Arya ke Bali, yang pada akhirnya terbentuklah kerajaan-kerajaan di Bali.

Pada jaman yang silam, bertahta Sri Dalem Wira Kesari atau terkenal bergelar Dalem Salonding, beristana di lambung Gunung Tolangkir (Gunung Agung), keratonnya di Kahuripan. Lama kelamaan, juga dikisahkan bertahta seorang raja besar keturunan Warmadewa keturunan raja Salonding, berkuasa di Bali bergelar Sri Raja Udayana, dengan didampingi oleh seorang Mpu yang agung bernama Mpu Kuturan. Berkat Mpu Kuturan, di Pulau Bali ada kahyangan tiga.

Diceritakan, Sri Erlanggia putra sulung Sri Udayana diundang ke Pulau Jawa oleh Maharaja Jawa Sri Darmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa dengan tujuan untuk dinikahkan dengan putri Beliau, hingga pada akhirnya Beliau menjadi raja besar di negara Daha. Lama kelamaan putra keturunan Sri Erlanggia bertahta menjadi raja di Bali menggantikan Sri Wala Prabu bergelar Sri Nari Prabu. Sri Nari Prabu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Putra Sri Jaya Sakti yang bernama Sri Jaya Kasunu belum berkenan menjadi raja karena mereka yang bertahta menjadi raja Bali, memerintah hanya setahun dua tahun kemudian wafat sampai dengan putranya. 

Tanam-tanaman mati, wabah penyakir menular tak henti hentinya, banyak korban jiwa, miskin dan melarat seluruh Pulau Bali. Kemudian Sri Jaya Kasunu beryoga samadi di parhyangan Batari Hyang Nini (Durga) di pura Dalem Kadewatan. Batari Durga lalu memberi petunjuk bahwa kenapa raja-raja Bali tidak lanjut usia adalah karena tiap-tiap TIGANING DUNGULAN tidak membuat upacara byakal, menyimpang dari tata terdahulu. 

Bila Sri Jaya Kasunu ingin menjadi raja maka ia wajib memelihara seluruh peraturan (sasana), wajib memelihara kahyangan dan kabuyutan serta tempat-tempat pemujaan. Tiap-tiap KALA TELUNING DUNGGULAN pada hari Selasa Wage, sang raja harus melakukan korban BYAKALA. Seluruh penduduk Bali bergembira ria berpesta di rumahnya masing-masing, membuat sesajen untuk para dewa-dewa, mendirikan PENJOR di setiap pintu pekarangan agar sesuai dengan tata cara masa-masa yang silam. Demikian hal tersebut terus dilakukan oleh Sri Jaya Kasunu hingga negara menjadi aman dan tentram, terhindar dari penyakit serta bahaya yang menyulitkan.

Setelah Sri Jaya Kasunu wafat, Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Pangus. Pada masa pemerintahan Beliau inilah dilaksanakan upacara TAWUR EKA DASA RUDRA. Sri Jaya Pangus digantikan oleh Sri Eka Jaya Lancana. Sri Eka Jaya Lancana digantikan oleh Sri Masula Masuli atau Prabhu Buncing, seorang kembar buncing yang kemudian dinikahkan. Sri Masula Masuli atau Prabhu Buncing digantikan oleh Sri Hyang Siddhimantra. 

Karena Beliau melakukan yoga dan samadhi memuja Hyang Gnijaya, maka nama Beliau diganti dengan Sri Indra Cakru. Sebagai rajarsi, Beliau meninggalkan kerajannya dan digantikan oleh adindanya Sri Hyaning Hyang Adi Dewa Lancana. Sri Hyaning Hyang Adi Dewa Lancana digantikan oleh Sri Gaja Wahana atau Sri Tapolung dengan patihnya yang agung bernama Sri Pasung Grigis dan Kebo Taruna/Kebo Iwa.

Dikisahkan di Majapahit bertahta Sri Maharaja Dewi dengan maha patihnya yang terkenal bernama Gajah Mada dan Arya Damar. Gajah Mada dan Arya Damar mampu menciptakan ketertiban negara sehingga raja-raja di luar Majapahit semua tunduk pada raja/ratu Majapahit, sehingga mereka mempersembahkan utpeti setiap tahunnya.

Akan tetapi tidak sama halnya dengan kerajaan Bali yang bersedia tunduk pada kerajaan Majapahit. Raja Bali merasa tidak senang dengan kebesaran kerajaan Majapahit, dan menginginkan kebesaran sendiri saja.

Oleh karena itu, kemudian atas perintah ratu Majapahit, maka Mahapatih Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali. Dengan daya upaya, tipu muslihatnya maka Kebo Iwa dan Sri Pasung Grigis berhasil dikalahkan, putra mahkota pun wafat sehingga raja tidak sanggup menanggung duka lara hingga bulat tekad raja terjun ke dalam unggun api hingga wafat, dan Bali pun berhasil ditaklukkan oleh Majapahit.

Setelah Bali dapat dikalahkan, secara otomatis Bali berada di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Para arya yang juga berjasa dalam penaklukan tersebut diberikan kekuasaan di daerah tersebut. Arya Kuthawaringin di Gelgel, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kabakaba, Arya Dalancang di Kaphal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kanuruhan Singhardula di Tangkas. Semuanya diperintahkan agar bersungguh-sungguh menjaga/mengatur wilayahnya. Semuanya diberikan pengarahan tentang tata cara memegang pemerintahan negara, dan tata cara seorang raja (raja sasana) sampai dengan ilmu kenegaraan (niti praya).
Setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, maka yang kemudian bertahta di Bali bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan kira - kira pada tahun Caka 1274. Beliau tidak mampu melaksanakan pengaturan negara, para arya Majapahit tidak berhasil baik mengatur orang-orang/penduduk Bali Aga, sebab ternyata bukan hanya kekuatan senjata sebagai alat/jalan memperoleh kemenangan, akan tetapi siasat atau cara itu harus berdasarkan Sad Guna sehingga memperoleh Jananuraga yang utama.
Bila raja tidak memiliki Jananuraga (suatu cara untuk dicintai oleh rakyat) maka tidak berguna semuanya itu, dan juga Asta Brata harus diterapkan agar supaya memperoleh keharuman. Pada akhir cerita diceritakan bahwa yang bertahta sebagai raja Nusa Bali adalah Sri Agung Jambe, dengan Beliau Sang Maha Pendeta yang berbudi luhur di Sukaton sebagai penasehat utama tentang tugas seorang ksatrya memegang pemerintahan/memimpin negara, sehingga berhasil baik.
***