Siraryya Kenceng

Siraryya atau Arya Kenceng (bergelar Nararya Anglurah Tabanan) adalah seorang kepala pemerintahan yang pandai dan bijaksana di daerah Tabanan Bali kira - kira pada tahun Caka 1274 ketika Bali pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Sri Ketut Kresna Kepakisan yang dalam sejarah perjuangannya dikisahkan sebagai berikut :
  • Dalam Babad Usana Bali Pulina, pada zaman dahulu Arya Kenceng diberikan kekuasaan di Tabanan berkat pengabdian dan jasanya dalam menyatukan daerah Nusantara ini di bawah panji Kerajaan Majapahit.
    • Bersama Arya DamarArya Suhaket dll.
    • Beliau Arya Kenceng sebagai pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yang menghadapi langsung Ki Tambyak, seorang patih dari Bedahulu.
  • Dalam Babad Arya Tabanan Sirarya Kenceng beristana di sebuah desa bernama Pucangan atau Buwahan di sebelah selatan Baleagung dengan batas daerah kekuasaan Beliau : 
    • Sebelah Timur Sungai Panahan, 
    • Sebelah Barat Sungai Sapwan, 
    • Sebelah Utara Gunung Beratan atau Batukaru, 
    • Sebelah Selatan daerah-daerah di Utara desa Sanda, Kurambitan, Blungbang, Tangguntiti, dan daerah Bajra.
Tatkala Bali dipimpin oleh Dalem Samprangan yaitu putra dari Dalem Sri Ketut Kresna Kepakisan, diceritakan oleh diansitompul17 dalam kutipan sejarah dikisahkan sebagai berikut :
Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan yang bergelar Nararya Anglurah Tabanan tersebut ketika itu sangatlah pandai membawa diri sehingga sangat disayang oleh kakak iparnya Dalem Samprangan. 
Dalam mengatur pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan beliau diangkat menjadi Menteri Utama. Karena posisi beliau sebagai Menteri Utama, maka hampir setiap waktu beliau selalu berada disamping Dalem Samprangan. 
Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem Samprangan, karena jasanya tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan dengan semua Arya di Bali. 
Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut tiada lain untuk memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama ini.
“Wahai dinda Arya Kenceng, demikian besar kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan pengabdianmu yang tulus dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai buyut dinda supaya tetap saling cinta mencintai dengan keturunanku juga sampai anak cucu dan buyut. 
Dinda saya berikan hak untuk mengatur tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur jadma), berat ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana. 
Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali, siapapun tidak boleh menentang perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada perintah dinda. 
Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah (atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu Bandhusa, Nagabanda dan wadah atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade bertingkat sebelas. 
Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara adinda berhak memakainya sebab dinda adalah keturunan kesatriya, bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru
Demikianlah penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda yang tulus sebagai Mentri utama.”
Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susuai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang diwariskan hingga saat ini. 

Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Peliggih) yang disebut “Batur/Batur Kawitan” dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.
***