Gajah Mada

Gajah Mada adalah Mahapatih Amengku Bumi di Majapahit sekitar tahun 1343 Masehi, beliau yang terkenal dengan sumpah palapanya dan juga filsafat dan konsep kepemimpinan Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu sebagai pengembangan dari ajaran Asta Brata, yang dalam sejarahnya tatkala terjadi kekosongan kekuasaan di Bali, Gajah Madalah yang menunjuk putra - putri keturunan dari Ida Kresna Soma Kepakisan menjadi raja di Bali yang juga bergelar Sri Kresna Kepakisan.

Gajah Mada sebagai Patih dari Majapahit yang utama, dalam satra kakawin Negara Kretagama, Beliau sebagai pengawas tertinggi istana raja dalam mengamankan kejayaan raja yang dalam kepemimpinannya juga disebutkan,
  • bijaksana,
  • jujur dan berbakti pada raja, 
  • fasih dan tajam bicaranya, 
  • hormat, tenang, teguh pendirian, 
  • gesit dan tidak ragu-ragu dalam tindakan, 
  • dll
Gajah Mada disebutkan adalah putra dari Mpu Curadharmayogi dan Patni Nariratih sebagaimana dijelaskan Lontar Babad Gajah Maddha dalam asal usul Mahapatih Gajah Mada (Serat Babad Gajah Maddha) yang dikisahkan, tersebutlah brahmana suami-istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. 

Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan layaknya suami istri lagi.

Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.

Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah), sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat.

Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih. Sebagai tipu muslihat segeralah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.

Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih, oleh karena sebagai pendeta sewala brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan suami istri, oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.

Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari, bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa mereka kelak. kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.

Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan, jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar.

Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah di sebuah desa yang bernama desa Maddha.

Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan, lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang terletak pada kahyangan di desa Maddha tersebut.

Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa di desa Maddha, lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilwatikta dan diberi nama “Maddha” setelah sampai di Majapahit.
***