Jembrana

Jembrana adalah sebuah kabupaten terletak di Bali bagian barat, selain memiliki seni dan tradisi seperti mekepung, gamelan jegog dll.
Jembrana juga memiliki cerita yang sangat menarik khususnya dengan penggunaan nama "Jembrana"  sendiri yaitu dengan asal katanya berasal dari "Jaran Rana".
Tersebutlah sebuah kisah keturunan dari keluarga Pasek Gaduh sekitar tahun 1337 M, 
berangkatlah rombongan dari daerah Pejarakan dan Bakungan untuk membangun sebuah Puri di daerah pulau ayam ( Gilimanuk ) yaitu cekik. Kerajaan ini diberi nama Bakungan karena di bangun oleh orang Bakungan.
Pada waktu pendirian Kerajaan Bakungan rombongan dari Ki Ageng Melel Cengkrong, mencari tempat yang dianggap suci. Melalui cerita bahwa perjalanan Leluhur yaitu Bhagawan Sidimantra / Empu Bakung yang pernah beryoga di daerah Bali Barat. 
Hal mana dengan Yoga nya untuk mengetahui keberadaan dari anaknya Ida Bang Manik Angkeran. Maka dtemukanlah pohon dap-dap sebagai sarana peyoga Ida Bhagawan Sidhimantra.
Maka di bangunlah disini sebuah Puri yang di beri nama Kerajaan Bakungan. 
Orang-orang Bakungan sebagai tulang punggung kerajaan,
sedangkan orang-orang pejarakan dipercayakan dan ditempatkan si sebelah timur sebagai penjaga perbatasan negeri Bakungan dengan penguasa Bedahulu yang ada di sana.
Kerajaan ini di bawah pemerintahan Ki Ageng Melel Cengkrong yang bergelar “ Sri Ageng Melele Cengkrong “ ( 1337 sd 1401 M ). Dalam menjalankan pemerintahan beliau di bantu oleh tiga orang putranya yang diajak dari Pejarakan yang bernama :
  • Ki Ageng Mekel Bang
  • Ki Ageng Cengkrong
  • Ki Ageng Malele Bang

Dalam Expedisi Gajah Mada I. dengan kelihaian dari Kerajaan Bakungan diketahuilah bahwa kekuatan Bedahulu yang pertama terletak pada patihnya Ki Kebo Iwo, bersama ini maka dilaporkanlah ke Majapahit oleh Raja Bakungan dan pada tahun 1342 M berangkatlah rombongan Gajah Mada ke Bali untuk mengalahkan Raja Bedahulu yaitu Sri Tapolung (Astasura Ratna Bumi Banten).

Singkat cerita, pada tahun 1400 M kekuasaan atas daerah jembrana dilanjutkan oleh keturunan dari Raja Bakungan :
  • Sri Ageng Malele Cengkrong untuk melanjutkan Pemerintahan ayahandanya di Kerajaan Bakungan dan beliau oleh Dalem Kresna Kepakisan di beri gelar : I Gusti Ngurah Bakungan.
  • Sedangkan Ki Ageng Mekel Bang dan Ki Ageng Malele Bang, bertahta di Puri Jauh di Sebelah Timur Kerajaan Bakungan yang di beri nama Kerajaan Pecangakan.
    • Sebagai patih diangkatlah : Ki Tegal Badeng yang masih merupakan turunan Bali Age. Beliau dianugrahi seekor Kuda Putih oleh Dalem Pasuruan ( Sri Bimo Cili )
    • Mengingat Kerajaan Pecangakan jauh terletak di sebelah timur dari Kerajaan Bakungan. Kuda ini diberi nama Jaran Bana Rana. 
Tersebutlah ke dua Negeri ini ( Pecangakan dan Bakungan ) aman sentosa dan makmur. 
Rakyat bertambah yang datangnya dari berbagai tempat. Kemajuan pemerintahan kakak beradik ini lama-lama menjadi persaingan diantara mereka.
Konon kabarnya I Gusti Ngurah Bakungan ingin memiliki Kuda Putih dari Kakaknya I Gusti Ngurah Gde Pecangakan. Kecurigaan ini timbul dihati kakaknya.

Beberapa tahun kemudian pada akhir bulan yang baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya
I Gusti Ngurah Bakungan mengundang kakaknya I Gusti Ngurah Gde Pecangakan akan hal karya tersebut. 
Akan tetapi di dalam hati I Gusti Ngurah Gde Pecangakan mempunyai prasangka yang buruk terhadap undangan adiknya. 
Padahal negeri Bakungan merupakan Pusat Leluhurnya. Ditambah pula setelah mimpi buruk yang di alami istri beliau. 
Tapi mengingat Darma sebagai Kakak dan Sebagai keturunan Bakungan, maka dengan penuh prasangka bliau memutuskan untuk menghadiri undangan suci tersebut.
Lain halnya dengan I Gusti Ngurah Bakungan yang sudah sadar akan kekeliruannya terhadap apa yang di inginkannya. 
Dengan hati yang suci beliau mengundang akan ikut dan melaksanakan yadnya sebagai keturunan dari Ki Ageng Malele Cengkrong.
Pada sebuah pertemuan di Puri Pecangakan berpesanlah I Gusti Ngurah Gde Pecangakan kepada adiknya Ki Ageng Malele Bang beserta segenap keluarga Puri dan Penggede istana.
Pesan beliau sebagai berikut :
“apabila kudaku kembali ke Puri berlumuran darah berarti aku telah tertipu dan terbunuh oleh adikku Bakungan. 
Para istri supaya melakukan Darma Satya ( Bunuh diri ) segenap harta berana supaya di sembunyikan dalam tanah dan Adi Malele Bang harus menuntut balas dan menghancurkan habis Puri beserta isi Bakungan “.
Setelah itu maka berangkatlah iring-iringan Pecangakan menuju Bakungan. Sehari perjalanan sampailah iring-iringan tersebut di negeri Bakungan di sambut dengan meriah dan dengan segala kebesaran mengingat ke dua saudara ini tidak pernah bertemu. 
Sambutan rakyat sangatlah meriah dan kakak beradik bercakap-cakap dengan gembiranya dan penuh budi luhur yang suci tanpa ada niat jahat dari I Gusti Ngurah Bakungan.
Tetapi malang tidak dapat di tolak ! ! ! ! !

Pada pagi sang fajar menyingsing, para jagal mengadakan penyemblihan binatang sapi, kerbau, babi dll untuk persediaan upacara, tetapi tanpa ada sebab sang kuda putih kesayangan Raja Pecangakan menjadi liar dan takut kalau ikut di sembelih. 
Kuda ini menjadi binal dan lepas dari kandang, melompat dan mengguling-gulingkan badannya di darah panas binatang yang baru di sembelih.  
Lalu ia lari menghilang ke arah pecangakan, tiada seorangpun yang dapat menghalanginya. Kejadian lepas sang kuda dilaporkan kepada I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan.
Alangkah terkejutnya Raja Pecangakan, lalu beliau menguraikan tentang pesannya di Puri Pecangakan.
Beliau menyadari akan bahaya yang akan di dapatkan setelah sang kudanya sampai di Puri Pecangakan. 
Maka di perintahkanlah beberapa pasukan Bakungan untuk mengejar sang Kuda. Sang Kuda melintasi Kelatakan, Melaya, Pegubugan menuju ke timur, terus ke selatan menuju Kerajaan Pecangakan. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan beserta pasukan tidak dapat menyusulnya.

Hal kisah tibalah sang kuda di Kerajaan Pecangakan dengan berlumuran darah, menjadi terkejutlah rakyat beserta seisi Puri. 
Dengan penuh dukacita, mengingat kepada pesan, maka pesan itu dilaksanakan tanpa pikir lebih jauh. 
Para istri, putra-putri telah melaksanakan satya, berikut harta benda di pendam di sumur, sesuai pesan I Gusti Ngurah Gde Pecangakan.
Kemudian Ki Ageng Malele Bang (I Gusti Ageng Malele Bang) bersama patih Ki Tegal Badeng mengerahkan seluruh pasukan perangnya untuk menyerbu Puri Bakungan. Pasukannya dikumpulkan di daerah Cupel. 
Setibanya di kerajaan Bakungan I Gusti Ageng Malele Bang dan Ki Patih Tegal Badeng menghancurkan negeri Bakungan beserta isinya. 
Dengan gigih Puri Bakungan mempertahankan negerinya, walaupun akhirnya Ki Jaya Kusuma tewas dalam pertempuran itu. Akhirnya negeri Bakungan hancur. 
Setelah semuanya selesai dan kalapnya reda beliau berpikir mengapa mayat Rakanda I Gusti Ngurah Gde Pecangakan beserta Rakanda I Gusti Ngurah Bakungan tidak ada?? Beliau mengambil keputusan untuk kembali ke Pecangakan karena tugasnya sudah selesai. 
Anak dari I Gusti Ngurah Bakungan meninggalkan Puri lari ke Pasuruan ( Pangeran Suropati ) dan di Jawa di kenal dengan nama Untung Suropati.
Akhirnya tibalah I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan di Negeri Pecangakan, disambut dengan isak tangis oleh rakyat menguraikan tragedi yang terjadi terhadap keluarga beliau. Sangat besar penyesalan beliau. 
Beliau ini menyesalkan kekeliruannya yang di akibatkan oleh sang kuda. 
Belum selesai mereka bersembahyang terhadap mereka yang meninggal terdengarlah sorak-sorai dari pasukan Pecangakan yang datang dari Bakungan. Sangatlah terkejut I Gusti Ageng Malele Bang melihat I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan bersama dalam keadaan berduka, maka diceritakanlah segala yang dilakukan di negeri Bakungan. 
Tiba-tiba Raja Bakungan menjadi marah dengan kehancuran negeri beserta isinya. Maka beliau menantang perang layaknya Darma Kesatria. Maka di panggilah adiknya I Gusti Ageng Malele Bang untuk menyatukan dan membangun negeri baru di wilayah Pecangakan. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan, beliau sepakat untuk mengadakan perang tanding sampai titik darah pengabisan. 
Di dekat sebuah muara sungai beliau bertanding mati-matian tiada yang bisa tewas. Lama-lama mereka payah berkelahi kemudian memutuskan untuk menceburkan diri ke air dengan badan terikat. 
Setelah menceburkan diri ke air datanglah seekor ikan besar yang menyambar lidah dan puser beliau berdua, dan akhirnya beliau tewas.
Pada suatu hari mayat beliau berdua ditemukan oleh seorang menega ( pencari ikan ) yang masih memakai pakaian seorang raja, karena merasa takut maka mayat beliau di kubur dan di jadikan satu. 
Maka sampai sekarang orang-orang menyebut tempat penguburannya sebagai Pura Kembar. 
Keluarga yang menemukan mayat beliau sampai sekarang sebagai penyiwi bakti Pura Kembar tersabut. 
Dan sekarang keluarga tersebut tinggal di Perancak, pindah pada masa banjir bandang yang menghancurkan negeri Brangbang. Keluarga ini adalah keluarga Pasek Gaduh.

Kiranya kehendak Hyang Dewata Agung, segala sesuatu yang suci dan mulia pada asas dan tujuannya. 
Jikalau diikuti dengan sakwasangka dan kesalahpahaman, maka pada akhirnya berbuah hasil keburukan. 
Setelah lina (berakhir)nya negeri Pecangakan dan Bakungan ± 1450 M, maka para Arya dan Rakyat menamakan daerahnya Jembrana yang berasal dari kata Jaran Rana.
***