Dalem Waturenggong

Dalem Waturenggong atau "Watu Renggong" adalah putra dari Dalem Ketut Ngulesir yang dalam Babad Bali, Dalem Waturenggong disebutkan memiliki putra yang salah satunya bernama Ida I Dewa Pemahyun (Dalem Bekung) dan Ida I Dewa Dimade (Dalem Sagening). 

Diceritakan setelah wafatnya ayah beliau Dalem Ketut Ngulesir pada tahun 1460 sebagaimana dijelaskan dalam kutipan sejarah Pemecutan Bedahulu, Dalem Waturenggong lah yang disebutkan menggantikan kedudukan beliau sebagai Raja di Kerajaan Gelgel dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong Kerajaan Bali mencapai masa keemasannya hal tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam mengatur pemerintahan dan penegakan hukum serta perhatian beliau terhadap kesejahteraan rakyat. 

Begitu juga orang orang Bali Aga (asli) diberikan kedudukan dalam pemerintahan dan diperlakukan secara adil.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang merupakan pemerintahan Pusat pada tahun 1478 maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah yang merdeka. 

Kerajaan Gelgel kemudian memperluas wilayah kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun 1512 M dan menguasai Pulau Lombok tahun 1520 M. 

Dalem Waturenggong merupakan raja yang sangat ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram. Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit.

Akibat jatuhnya Majapahit maka banyak para arya dan Brahmana dari Majapahit yang datang ke Bali diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali terkenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dang Hyang Dwijendra.

Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong ini, memang ada kisah yang menarik. Pada suatu hari, Dalem menggelar upacara yang cukup besar. Untuk me-muput upacara tersebut, Dalem mengundang Danghyang Nirartha.
Ketika utusan raja sampai di pasraman, yang ada hanya I Kelik, abdi setia Danghyang Nirartha. Utusan Dalem mengira I Kelik sebagai pandita dan mohon agar bersedia muput upacara. I Kelik yang dikira pandita justru senang menerima undangan itu.
Merasa dibohongi, Dalem Waturenggong murka dan mengusir I Kelik dan bahkan diberi hukuman mati. Namun berkat sifat pengasih Danghyang Nirartha, I Kelik selamat dari hukuman mati. Dalem memberikan pengampunan kepada I Kelik atas permohonan Danghyang Nirartha dan I Kelik pun diganti namanya menjadi I Sengguhu.

Bersama Danghyang Nirarta lah, disebutkan Raja Dalem Waturenggong ini membuat awig - awig desa adat sehingga ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik dan membangun pelinggih Sekar Kancing Gelung di Pura Sakenan.

Juga pada saat itu, ditegaskan kembali bagi keturunan raja Bali yang melakukan hidup me-wanaprasta oleh Pedanda Sakti Wawu Rauh pada era pemerintahan Dalem Waturenggong, seperti tertulis dalam Piagem Dukuh Gamongan sebagai Brahmana Sapinda secara konsisten melakukan hidup suci menjadi seorang pertapa.

Sehingga saat terakhir beliau, disaat Dalem Waturenggong wafat dibuatkanlah Naga Banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah, upacara pelebon Raja Gelgel dan keturunannya menggunakan Naga Banda.
***