Dandang Gendis

Çri Aji Dangdang Gendis atau Shri Kertajaya adalah seorang raja sakti namun disebutkan sangatlah angkuh dan durhaka kepada kaum brahmana.

Beliau berasal dari kerajaan Daha, Panjalu Kadhiri atau juga disebut Galuh yang memerintah pada tahun 1112 Saka (1190 Masehi), 
  • beliau merupakan putra dari Çri Jayabaya yang dalam Babad Usana Ratu Bali disebutkan, 
  • berputra Çri Jaya Katong atau Jayakatwang yang juga gugur dalam peperangan.
Dalam kisahnya sebagaimana disebutkan sewaktu menjadi raja, Dhangdang Gendis dalam pusaka jawa timuran, beliau juga dikenal dengan sebutan Shri Maharaja Shri, Sarweswara riwikramataranindita SrenggaDigjaya Tunggadewanama, yang juga terkenal dengan sebutan Shri Dandang Gendis atau Shri Kertajaya.

Shri baginda terkenal sebagai raja yang kaya raya serta memiliki pasukan yang sangat besar. Meskipun demikian belum juga lega hati sang prabu, sebab masih ada segolongan masyarakat yang tidak bersedia menyembah kepadanya, yaitu para Brahmana dan resi diseluruh kerajaan Kadhiri.

Namun demikian para Brahmana tersebut tidak ada yang bersedia memenuhi titah Shri baginda. 
  • Mereka mengemukakan bahwa tidak selayaknya menyembah kepada raja, 
  • Lebih dari pada itu yang patut disembah oleh para Brahmana ialah Sang Hyang Batara Guru. 
Mendengar penuturan para Brahmana tersebut segeralah Shri baginda mengambil sebatang tumbak yang ditancapkan ke tanah,
  • dengan mata tumbak menghadap ke atas. 
    • Shri baginda pun meloncat duduk bersila di atas ujung tumbak
    • tanpa menderita luka sedikitpun. 
  • Shri baginda mengatakan bahwa sebenarnyalah baginda adalah Batara Guru.
Namun demikian para Brahmana tetap tidak bersedia melakukan perintah baginda, se­hingga kesabaran Shri baginda pun punah seke­tika menyambar pedang yang berada di plangkan yang tajamnya bagai taring warak, untuk menghabisi para Brahmana. 
  • Melihat akan datangnya bahaya maut, 
  • segera para Brahmana berloncatan keluar lari meninggalkan paseban.
Shri baginda segera memerintahkan para pasukannya untuk melakukan penggere­bekan terhadap seluruh padepokan di Kadhiri. 
  • Pasukan Kadhiri yang dipimpin oleh senopati Gubar Baleman menyerbu ke padepokan para Brahmana yang tidak bersedia melaksa­nakan titah baginda untuk berdatang menyembah, 
  • mereka dikejar-kejar dan diusir dari Kadhiri mereka pun lari ke Tumapel dan berlindung dibawah perlindungan Akuwu Tumapel, Ken Arok.
  • (seperti Mpu Purwa Natha dll)

Bermula dari keangkuhan tersebut dan berdasarkan penghinaan Raja Sri Dandang Gendi yang dalam Tabloid Bali Aga disebutkan akhirnya keraton pun menjadi hancur.

Kisahnya sebagai berikut.
Tersebutlah pada tahun Saka yang lalu 1144 (1222 M) bulan Palguna (sekitar Pebruari), hari ketiga belas, setelah bulan Purnama, hari sepekan Watugunung, pada saat itu perintah beliau Raja Ken Angrok (Ken Arok), 
  • beliau yang bertahta di Tumapel, menyerang kerajaan  Galuh, 
  • atas desakan beliau para pendeta Siwa maupun golongan Budha.
Bahwasannya Raja Sri Dandang Gendis, 
  • durhaka pada para pendeta, menghina kewajiban Sang Brahmana, 
  • ibarat seperti Maha Raja Nahusa, yang berkeinginan menguasai surga. 
Demikian perbuatan Raja Sri Dandang Gendis, menyebabkan semua pendeta menjadi bingung mengungsi ke Tumapel. Sekarang kerajaan Daha, 
  • ibarat seperti segunung rumput kering hancur lebur terbakar oleh api, siap dibakar? 
  • Itulah kemarahan sang pertapa, berkobar dalam pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya 
  • Raja Sri Ken Angrok menghembus, semakin nyala tak ada tandingannya.
Pada akhirnya, Sri Aji Dandang Gendis menyerah. Sadar akan ajalnya tiba, karena Raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan Brahmana dari Waisnawa.

Kembali dalam pusaka jawa timuran, Shri Kertajaya yang menyaksikan kerusakan pasukannya, segera menepi akan meninggalkan medan laga. 
  • Namun demikian belum lagi beranjak dari tempatnya, 
  • Shri baginda telah dihujani dengan panah dan tumbak oleh para prajurit Kadhiri, 
  • sehingga tewas seketika. 
Pada akhirnya Kadhiri dapat dikalahkan oleh Tumapel, Ken Arok dinobatkan sebagai raja Tumapel, yang pada saat itu pula namanya dirubah menjadi Singhasari. (1222 Masehi).
***