Sagung Wah

Sagung Wah adalah seorang perempuan Tabanan Bali yang memiliki semangat patriotisme untuk dapat mempertahankan negara dan tanah tumpah darahnya dari tangan penjajah pada tahun 1906 yang sebagaimana disebutkan dalam sumber kutipan Babad Pasek Gelgel,

Beliau merupakan putri bungsu dari Ratu Singhasana Tabanan Bali,  yang dalam kisahnya diceritakan tatkala Kerajaan Tabanan diserang oleh serdadu Belanda,
  • Awalnya beliau melarikan diri menuju desa Wangayagde untuk menemui dan mememinta bantuan Kepala Desa (perbekel) Desa Wangayagde yang dijabat oleh Pasek Kubayan. 
  • Di dalam pelariannya ini ia diiringi oleh beberapa rakyat yang masih setia, diantaranya bernama Pan Bina dari Banjar Sakenan Belodan, Desa Tabanan. Dari Tabanan pertama yang dituju ialah rumahnya I Gede
    Kasub di Peryukti, dan disana Sagung Ayu Wah disembunyikan selama tiga hari di Pura Dalem Peryukti. 
  • Kemudian dari sana Sagung Ayu Wah bersama pengiringnya meneruskan perjalanan ke Desa Wangayagde dengan melalu desa Riang.

Adapun Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde bersama rakyatnya, sebelum kehadiran Sang Ayu Wah, belum mengetahui situasi yang sebenarnya apa yang telah terjadi di Tabanan.

Kemudian sesudah Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde mengetahui apa yang telah terjadi di Tabanan, menjadi sangat marah, dan timbul semangat patriotismenya untuk membebaskan Tabanan dari penjajahan Belanda.

Semangat rakyat yang meluap - luap ini lalu dikoordinasikan dengan sebaik - baiknya oleh Sagung Ayu Wah, untuk membalas dendam dari kelicikan Pemerintah Belanda, dengan cara mengorbankan semangat perlawanan untuk mengusirnya dari kerajaan Tabanan.

Desa Wangayagde sebagai daerah otonom dalam kerajaan Tabanan dan juga merupakan suatu kesatuan adat, jelas mempunyai nilai solidaritas yang tinggi.

Di lain pihak tokoh Sagung Ayu Wah sangat dihormati oleh rakyat,
  • disamping dengan keberanian dan 
  • kecakapannya menghimpun rakyat, 
  • hingga memudahkan baginya untuk memulai mempersiapkan rencana penyerangan.

Sesudah persiapan cukup matang dengan bantuan Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde, maka segeralah rakyat Wangayagde digerakan untuk meyerang Belanda.

Perjuangan ini kemudian disebut “Balikan Wangaya”.
  • Pada permulaan bulan desember 1906 kulkul ditabuh bulus sebagai pertanda adanya mara bahaya, dan bunyi kulkul di Desa Wangayagde segera disambut oleh kentongan secara gencar dari desa - desa yang berdekatan. 
  • Mendengar suara kulkul yang gencar ini seluruh rakyat segera berdatangan lalu berkumpul di Bale Desa dengan persenjataan selengkapnya. Dengan rasa marah, mereka mengumpat musuh yang akan dihadapi serdadu belanda di Tabanan. 
  • Seorang Pasek Kubayan bernama Pan Kandar sebagai pimpinan pusat dengan disertai rakyat sebagai lascar berangkat ke Pura Luhur Batukaru, untuk melakukan persembahyangan.

Laskar yang sudah siap tempur diperlengkapi lagi dengan benda - benda keramat milik pura antara lain berupa
  • tombak yaitu tombak cabang lima, 
  • tombak cabang tiga, 
  • tombak bersimbul cakra dan 
  • keris bernama Gede bong belus dan Tinjato lesung. 
Sesudah persembahyangan selesai dengan disirati tirtha, laskar mulai bergerak ke Selatan menuju Tabanan dengan membawa benda - benda suci milik pura.

Di dalam perjalanan ini mereka ditempatkan paling depan. Seluruh lascar memakai ikat kepala putih, dan pasukan yang cukup besar dan megah ini bertambah angker lagi karena diiringi oleh taduhan Beri. Tidak dikisahkan perjalanan lascar ini, sesudah tiba di sebelah utara Banjar Tuakilang, mereka berhenti sambil mengatur informasi tempur.

Setelah istirahat, lascar ini bergerak menuju selatan ke Banjar Tuakilang, dan Sagung Ayu Wah yang berpakaian serba putih sampai kepalanya diikat dengan kain putih berjalan paling depan.

Kedua belah tangannya memegang keris pusaka,
  • Keris Pusaka Gedebongbelus di tangan kanan, 
  • dan keris Tinjaklesung dipegang di tangan kirinya. 
Sedangkan dibelakangnya pajenengan Bhatara berupa tombak cabang lima, dipegang dua orang bernama Pan Kerenan dari Sengketan dan Gde Suwatra dari Desa Wangaygde Warga Pasek Kubayan.
Kemudian disusul oleh para pembawa tombak dan keris pusaka. Setelah itu barulah menyusul panglima bernama Pan Renteh, Pan Tembah dan Gde Pered, serta penyerangan ini akan dilakukan secara bergelombang dari Banjar Tuakilang.

Kedatangan laskar dari Desa Wangyagde ini oleh Belanda telah diketahui. Sebab itu serdadu belanda dengan persenjataan lengkap mengahadang di sebelah utara Desa Pasekan, Tabanan, dan senjatanya dibidikan terhadap Laskar Wangayagde.

Sesudah kedua pasukan berhadap komando dikeluarkan oleh panglima Pan Renteh dan Pan Tembeh untuk menyerbu pertahanan Belanda.
  • Tombak cabang lima diarahkan kepada pertahanan Belanda, yang pada mulanya serangan pertama ini dapat mendesak serdadu Belanda. 
  • Selama pusaka Pura Luhur Batukaru ini diarahkan kepada serdadu Belanda, selama itu pula bedil serdadu Belanda tersebut menjadi macet. Sebab itu serdadu Belanda mulai mempergunakan meriam. Namun pada awalnya selalu macet. Untuk mengatur strategi Baru, serdadu Belanda tersebut mengundurkan diri.

Kemudian serdadu Belanda itu maju lagi dengan senjata ampuh bernama Ki Tulupempet menyerang laskar Wangayagde, dan terjadilah pertempuran antara laskar Wangayagde yang bersenjata Pusaka luhur Batukaru berhadapan dengan serdadu belanda yang bersenjata Ki Tululempet.

Tiba - tiba pusaka Pura Luhur Batukaru yang dipegang oleh Pan Kerenan dan Gde Suwatra terlepas dari tangannya dan rebah, dan bersamaan dengan rebahnya pusak tersebut, barulah bedil serdadu Belanda itu dapat ditembakan.

Dengan tembakan - tembakan yang sangat gencar dari serdadu Belanda itu, maka laskar Wangayagde kewalahan menghadapinya dan tidak sedikit yang gugur.

Sedang yang masih hidup diperintahkan mundur oleh panglimanya. Sedang sagung Ayu Wah kemudian dapat ditangkap oleh serdadu Belanda tersebut, lalu diasingkan ke Pulau Lombok dan akhirnya disana ia meninggal dunia.
***